(NB: Ganti alamat http://img691.imageshack.us/img691/2631/icon2a.gif sesuai alamat icon anda di ImageShack) 2010 | Ivy Djulia Ananda
Selamat Datang Di Blog Ivy Djulia Ananda

Jumat, 05 Februari 2010

Cantiknya Aku

Aku dan Bude


Bergaya...


Hahahahaha


Cape Banget Aku


Lucunya Aku


Di Gendong Budeku



Makasih Bude...

Lagi Tidur


Selasa, 12 Januari 2010

Demokrasi Versus Media Mainstream

Oleh: Rudi Hartono*)

Teman saya pernah mengatakan: “ media itu suka membeserkan masalah-masalah kecil dan remeh temeh, namun seringkali mengecilkan persoalan-persoalan besar. Dan, menurut saya, ini semakin nampak ketika media berdiri melakukan pembelaan terhadap kekuatan-kekuatan besar di belakangnya; relasi pemilik media dan kekuasaan.

Dalam kasus George Aditjondro, misalnya, ketika meluncurkan buku “Gurita Cikeas”, media punya andil besar dalam melemparkan justifikasi bahwa buku ini kurang ilmiah, kurang valid, dan terkesan sekedar mencari sensasi. Ini didapatkan dari teknik media menghadirkan beberapa narasumber yang, dalam beberapa kasus, bertindak sebagai pembela kekuasaan.

Dalam kasus lain, isu bailout Bank Century telah dikunci sedemikian rupa menjadi perdebatan soal apakah Bank Century berdampak sistemik atau tidak. Kenapa tidak membuka perdebatan untuk menelanjangi apakah bailout satu-satunya pilihan antisipatif terhadap krisis atau ada pilihan lain, misalnya.

Objektif dan Netral

Posisi media digambarkan sebagai objektif dan netral—tidak memihak dan berada di atas segala kepentingan kekuasaan. Media hanya berusaha menyampaikan kebenaran kepada publik, tidak lebih. Namun begitu, bercermin dengan situasi akhir-akhir ini, superioritas moral media dalam hubungannya dengan politik kelas dan negara adalah mitos terbesar dalam setiap demokrasi kapitalis.

Terkait ini, menurut Edward S Herman dan Noam Chomsky, merupakan bentuk ketundukan media terhadap pemilik media dan klas berkuasa. Ini juga termasuk kontrol penguasa dan bisnis besar dalam bentuk kepemilikan langsung dan ketergantungan secara langsung media terhadap iklan dari pemerintah dan bisnis besar.

Ini, pada akhirnya, mempengaruhi media dalam menggunakan narasumber untuk menjelaskan atau memposisikan sebuah persoalan krusial, seperti isu politik, ekonomi, dan persoalan sosial. Mereka seringkali menggunakan narasumber dari pejabat pemerintah, pengamat ‘independen’, dan think-thank kelas penguasa.

Propoganda bisa efektif, kata Michael Parenti, sangat dipengaruhi oleh, antara lain, kemampuan membungkus kepalsuan. Pengaturan nada bicara, pakaian, pemaparan berita, pilihan fhoto, efek visual dapat menjadi unsur pendukung untuk mengontrol dan mengendalikan emosi pemirsa agar menyakini kebenaran informasi media.

“Netral dan bebas dari kepentingan politik”, ini merupakan bentuk penyelundupan terhadap nilai-nilai yang kondusif bagi kepentingan bisnis dan kelompok politik yang dekat dengan mereka. Ini sekaligus menjadi mekanisme penyaringan (filter) terhadap isu-isu kontroversial yang perlu diangkat dan mana yang dikesampingkan.

Dengan kepemilikan media di tangan segelintir tangan, yang juga merupakan turunan oligopoly media internasional, peran mereka semakin dominan dalam mengontrol akses informasi terhadap masyarakat. Di Indonesia, saluran informasi telah dimonopoli oleh segelintir tangan yang mengendalikan saluran TV besar dan Koran-koran cetak.

Membunuh Demokrasi

Bagi kaum demokrat, kontrol media di segelintir tangan dan keterkaitan mereka dengan ideologi kelas berkuasa adalah sebuah bencana. Demokrasi sangat bergantung kepada akses informasi dan pendidikan umum. Namun, ketika berada di bawah kontrol oligopolies dan oligarkhi, media telah menjadi senjata untuk memanipulasi informasi dan memberangus fikiran kritis di tengah masyarakat.

Seperti dikatakan James Madison, “ Pemerintahan populer tanpa informas yang populer, atau cara memperolehnya, hanyalah sebuah prolog untuk sebuah “lelucon” atau “tragedy”, bahkan keduanya. Dari pengertian ini, kita coba balikkan, bahwa sebuah pemerintahan gagal dapat menjadikan berhasil, kalau media bisa mengubur informasi mengenai kegagalannya dan hanya menampakkan prestasi yang dibuat-buat.

Dalam beberapa tahun terakhir, Menurut Noam Chomsky, keberhasilan demokrasi borjuis tidak lepas dari jasa media untuk menyakinkan masyarakat, bahwa gambaran dunia saat ini merupakan bentuk terbaik dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik –There is Not Alternative (TINA). Di tangan media, sebuah propaganda besar-besaran disusun untuk mendiskreditkan ideologi atau fikiran-fikiran yang menawarkan masa depan. Mereka memvonis fikiran-fikiran tersebut sebagai ekstremisme, irasional, dan mesianik.

Melalui kotak yang bernama televisi, ajaran-ajaran liberalisme disebar-luaskan kepada massa rakyat, berupa pola hidup, filosofi liberalisme, individualisme, sisnisme, dsb, yang, pada prakteknya, benar-benar efektif mendepolitisasi massa rakyat.

Demokrasi jenis apapun, menurut Andrés Pérez Baltodano, selalu membutuhkan konsensus dari mayoritas luas mayarakat, tidak terkecuali demokrasi liberal. Dalam proyek ini, media kapitalis berfungsi sebagai “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.

Media Alternatif

Kontrol segelintir elit terhadap media merupakan hasil perampasan elit-elit komersil terhadap sarana komunikasi. Akibatnya, mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap sarana-sarana berkomunikasi yang massal, seperti TV, Radio, Koran, dsb. Lebih jauh lagi, klas berkuasa telah memperkuat persenjataan ideologisnya, sementara mayoritas kaum terhisap kehilangan saran untuk menyuarakan kepentingannya. Ini adalah makna penting media alternatif, yakni sebagai alat pertahanan ideologis rakyat kita menghadapi ideologi hegemonik klas berkuasa.

Di Uruguay, lagi-lagi kita bercermin ke sana, gerakan progressif berhasil menghidupkan mesin-mesin propaganda, khususnya media massa, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun melawan neoliberalisme. FA memiliki sebuah koran berwarna bernama “La Juventud” (Pemuda). La Juventud diprakarsai oleh Gerakan 26 Maret (M 26), sebuah partai marxist di dalam Frente Amplio, dengan mengintegrasikan laporan sosial dan politik dengan fitur-fitur populer, seperti cuaca, sepak bola, hiburan, dan acara TV. Mereka sangat menonjolkan sepak bola, karena olahraga ini telah menjadi kegemaran rakyat di seluruh negeri.

MLM, salah satu sayap dalam FA, juga berhasil mengorganisasikan radio alternative, yaitu CX 44 Radio Panamericana. Meskipun berhadapan dengan lisensi dan pembredelan pemerintah, radio ini tetap eksis sebagai jaringan radio bawah tanah (clandestein). Selain itu, FA juga masih memiliki jaringan radio lain, Radio 36 Centenary, yang aktif membuat diskusi dan sajian-sajian acara populer di telinga rakyat. Dengan kehadiran media-media alternative ini, sedikit 3,1 juta orang rutin menerima aksi berita dari kalangan pergerakan.

Di El Salvador, gelora perjuangan media alternative juga cukup menggelora, dan punya andil dalam menemani perjuangan gerilya. Diario Co-Latina, sebuah majalah populer, sudah berkali-kali mengalami pembakaran, pemboman, dan akhirnya diambil alih pihak militer. Majalah ini sangat digemari pembaca, terutama karena bahasa-bahasa populer dan sajian yang menarik bagi kalangan bawah.

Media lainnya, Radio Venceremos ( "Kami akan menang"), adalah radio yang sangat berkontribusi dalam perjuangan Sandinista. Radio ini bukan hanya menjadi penghubung bagi gerakan gerilya, tetapi juga bagi dunia internasional. Karena radio ini dapat disiarkan dalam lima bahasa.

Saat ini, media-media alternatif tumbuh subur di berbagai kawasan perlawanan di Amerika Latin, seperti radio komunitas, surat kabar, jaringan penjual DVD perjuangan sosial, TV, dan lain sebagainya. Di Chili, pada bulan Juli 2009, telah berdiri jaringan media rakyat, yang mengaitkan berbagai media alternatif, seperti surat kabar, situs web, radio, dan Televisi.

*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpin redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.

Senin, 11 Januari 2010

Indah Parangtritis


Indahnya...
( Yogyakarta)

Kamis, 07 Januari 2010

"Gurita Cikeas" dan Jejaring Korupsi

Arianto Sangaji

BUKU Gurita Cikeas karya George J Aditjondro atau GJA mengundang reaksi keras. Para pendukung SBY, berlatar belakang akademisi dan terlebih politisi, menanggapi buku ini dengan sikap cenderung kekanak-kanakan.

Entah memakai logika apa, sebagian di antara mereka mengaku belum dan tidak tertarik membaca bukut tersebut, tetapi sudah menyimpulkan isi buku adalah sampah. Sebagian mulai memainkan kartu SARA, seperti terlihat dari spanduk-spanduk yang dibawa para demonstran ketika peluncuran buku di Doekoen Café pekan lalu.

Buat pembaca serial buku korupsi kepresidenan GJA, buku ini sebenarnya mirip buku-buku sebelumnya, yakni mengenai korupsi politik. Tepatnya, korupsi oleh sebuah oligarki, yang oleh GJA menyebutnya ”berkaki tiga”, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa. Dia mengklaim adanya kesinambungan oligarki ini dari Soeharto sampai SBY.

Merujuk karya sosiolog William J Chambliss tentang jaringan kriminal (On the Take: From Petty Croocks to Presidents), GJA mengembangkan teori ”jejaring korupsi”, dengan aktor beragam: dari politisi, pengusaha, aparat militer, penegak hukum, pengacara, ilmuwan, wartawan, sampai preman.

Tak heran, korupsi sangat sulit diberantas lewat jalur penegakan hukum. Pasalnya, para aktornya mengendalikan lembaga-lembaga politik dan hukum, serta menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka juga melakukan propaganda media dengan meminjam suara para pakar/tokoh agama dan bila perlu memakai cara teror, untuk menutup- nutupi dan melestarikan korupsi.

Tidak mudah

Penelitian atau investigasi untuk mengungkap ”jejaring korupsi' bukan hal mudah. Pertama, dengan kekuasaan yang luas di tangannya para pelaku menutup rapat informasi dan saling melindungi. Mereka ramai-ramai membantah apabila dimintai konfirmasi tentang indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Untunglah selalu ada ”orang- orang baik”, seperti William Mark Felt, dalam Skandal Watergate yang menghebohkan itu. Mereka ini yang memberi informasi dan bukti tentang korupsi di lingkungannya. Seorang peneliti atau investigator yang baik tentu saja akan melindungi whistle blower ini, yang bisa saja terancam kehilangan pekerjaan, jabatan, bahkan nyawa.

Kedua, mereka kerap memakai jalur hukum untuk menjerat siapa pun yang mencoba-coba mengungkap korupsinya. Senjata ampuh yang sering digunakan adalah tuduhan pencemaran nama baik. Bahkan, lebih dari itu, ancaman penghilangan nyawa. GJA sendiri pernah mengalami ancaman semacam ini secara berulang ketika terlibat penelitian ’jejaring korupsi’ di daerah-daerah konflik bersenjata.

Debat kusir

Banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ”jejaring korupsi” yang mendasari buku ini. Bisa ”dimaklumi” bila pelakunya adalah para politisi karena kekuasaannya terganggu.

Sungguh aneh ketika sebagian pakar yang mengomentari buku ini larut dalam debat kusir. Apalagi menganggapnya tidak ilmiah penggunaan sumber sekunder dari pemberitaan media dan internet. Jangan lupa, GJA menulis disertasi doktornya di Cornell University tentang pemberitaan media massa dalam kasus Bendungan Kedungombo. Dia tahu validasi dan penggunaan sumber-sumber sekunder dan memahami aroma politik dan bisnis di balik pemberitaan media.

Di sisi lain, sudah hampir dua dekade GJA melakukan studi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping pernah mengajar sosiologi korupsi di Newcastle University, dalam belasan tahun terakhir GJA meneliti korupsi dalam spektrum luas, dari korupsi kepresidenan, korporasi swasta, hingga di daerah-daerah konflik bersenjata. Ia juga menulis beberapa buku dan menulis puluhan makalah ilmiah. Tidak bisa disangkal, GJA adalah satu dari sedikit ilmuwan sosial di Indonesia yang memiliki pengalaman riset yang panjang dan mendalam mengenai korupsi.

Atas dasar itu semua, perdebatan tentang Gurita Cikeas sebaiknya dilakukan secara akademis. Pertama, para pakar perlu menunjukkan kelemahan-kelemahan teori ”jejaring korupsi” GJA dan menyoal metodologi penelitiannya melalui tulisan-tulisan akademis. Hanya dengan cara ini selain akan memajukan teori ilmu sosial tentang korupsi, juga menyumbang setiap inisiatif memerangi korupsi di negeri ini.

Kedua, media massa perlu aktif meminta pendapat ilmuwan sosial tentang isi buku tersebut, terlebih dari ahli ilmu sosial yang terlibat dalam penelitian korupsi di mana ruang lingkup buku itu berada. Dan para jurnalis juga perlu menghindar mewawancarai ilmuwan yang sering genit menjadi komentator untuk semua hal di luar keahliannya, yang kadang ”asal berpendapat” atau ”berpendapat asal-asalan”.

Dengan demikian, media turut mendidik masyarakat dengan menyajikan percakapan para ilmuwan secara sehat.***

Arianto Sangaji, mahasiswa doktoral di York University, Toronto, Kanada.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Rabu, 6 Januari 2010. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Selasa, 05 Januari 2010

Anak Merdeka

Wadah Persatuan

Profile

Nama
Ivy Djulia Ananda
Tempat dan Tanggal Lahir
Jakarta, 12 Juli 2009
Email
ivy.d.ananda@gmail.com
situs web:
http://ivy-d-ananda.blogspot.com/

Senin, 04 Januari 2010

Demokrasi dan Pengetahuan

Roby Muhamad

DALAM rezim demokrasi, setiap kebijakan publik harus memenuhi dua syarat mutlak: kebijakan yang berkualitas dan baik untuk demokrasi itu sendiri. Kedua tuntutan ini sering dianggap saling bertentangan. Tuntutan untuk menghasilkan kebijakan publik dengan kualitas tinggi sering dijadikan alasan untuk memberikan kewenangan penuh pada pakar atau teknokrat. Logikanya sederhana: jika ingin kebijakan sebagai solusi masalah maka serahkan pada ahlinya.

Di sisi lain, menyerahkan sepenuhnya pembuatan kebijakan pada sekelompok ahli dibalik pintu tertutup yang tidak diketahui publik mengurangi kualitas demokrasi. Esensi demokrasi adalah memberikan kesempatan yang sama ke semua orang untuk ikut menentukan jalannya pemerintahan. Sehingga dominasi ahli mencederai prinsip kesamaan kesempatan ini.

Sepintas demokrasi memang bukan sistem yang natural. Misalnya, ketika berhadapan dengan situasi medis yang gawat, lebih natural kita menyerahkan keputusan pada dokter ahli daripada melakukan pemungutan suara diantara teman dan kerabat kita mengenai tindakan apa yang harus diambil.

Retorika keahlian – seperti dokter menolong pasien yang sakit keras atau pemadam kebakaran yang memadamkan api sehingga mencegah korban lebih besar – sering dipakai sebagai metafora dari sebuah kebijakan kontroversial.

Sehingga pertanyaannya adalah jika seorang ahli lebih tahu cara penyelesaian masalah, lalu apakah otomatis ahli tersebut menjadi pemimpin yang harus kita ikuti?

Jawaban lengkap pertanyaan di atas tentunya memerlukan eksposisi yang mendetail. Apa yang ingin saya sampaikan disini hanyalah argumen teoritis yang saya pikir dapat menjadi dasar untuk pengembangan selanjutnya.

Metafor dokter atau pemadam kebakaran adalah karikatur. Sebagaiman layaknya sebuah karikatur, ia berguna karena melebih-lebihkan satu sisi dan menyembunyikan sisi lainnya.

Terdapat dua perbedaan utama situasi medis atau kebakaran dengan proses pengambilan kebijakan publik dalam rejim demokrasi. Pertama, ketika kita mengakui bahwa dokter memang ahli menyembuhkan penyakit. Artinya kita bisa mengidentifikasi ahli dan keahliannya memang relevan dengan masalah yang dihadapi. Kedua, kita memberikan consent kepada dokter untuk mengambil tindakan terhadap tubuh kita.

Dalam domain pemerintahan, consent ini bermasalah. Biasanya kita tidak memberikan consent kepada ahli atau teknokrat tapi kepada pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, tidak semua orang memilih pejabat yang berkuasa tetapi kebijakan yang dia buat berlaku baik untuk mereka yang memilihnya maupun yang tidak.

Penyelesaian masalah consent ini sangat rumit dan mungkin belum ada solusi praktisnya. Tetapi alasan pertama tentang kesulitan mengidentifikasi ahli dan keahliannya memutus argumen bahwa seorang ahli otomatis memiliki otoritas untuk memimpin. Penjelasannya sebagai berikut.

Misalkan anda seorang penganut agama yang salah dan percaya bahwa pemimpin harusnya seorang penganut agama yang benar. Karena anda tidak tahu bahwa agama anda salah, maka anda memilih pemimpin yang sama agamanya dengan anda; meskipun agama anda dan pemimpin ini salah. Masalahnya disini adalah anda tidak mengenali siapa ahli yang benar.
Jadi meskipun anda percaya bahwa ahli harus memimpin, tidak otomatis ahli menjadi pemimpin karena sulit mengidentifikasi secara pasti ahli tersebut.

Lalu bagaimana solusinya?

Karena penilaian tentang keahlian bergantung pada domain pengetahuan yang digunakan, maka untuk meningkatkan kemungkinan menemukan ahli yang legitimasinya diakui dari berbagai sudut pandang perlu melibatkan lebih banyak domain pengetahuan. Singkatnya, kita perlu memperluas partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Partisipasi publik ini bukan hanya penting untuk memberikan legitimasi demokratis tapi juga untuk meningkatkan kualitas kebijakan.

Metoda penyelesaian masalah yang umum dilakukan adalah sebagai berikut. Sebuah masalah besar dipecah menjadi masalah-masalah yang lebih spesifik. Selanjutnya masalah-masalah spesifik tersebut dipecahkan oleh ahli nya masing-masing. Artinya ahli adalah spesialis, dan spesialis bermanfaat memecahkan masalah spesifik yang sama dengan spesialisasinya.

Untuk masalah sederhana yang dapat dipecah, kita tidak kesulitan menentukan spesialisasi apa yang dibutuhkan. Tetapi banyak masalah kompleks yang dihadapi kita sekarang – misalnya kemiskinan, pendidikan, kesehatan – yang sulit dipecah menjadi sub masalah yang terpisah-pisah. Konteks sosial, sejarah, budaya, dan geografis yang unik menambah derajat kompleksitas masalah; sehingga kita tidak bisa sekedar menggabungkan para spesialis.

Artinya, penyelesaian masalah secara hirarkis tidak akan mampu mengatasi masalah dan konteks yang sangat bervariasi. Partisipasi lokal yang dinamis (juga dikenal sebagai wisdom of the crowd) menjadi salah satu cara untuk merespon variasi yang tinggi ini karena memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sosial yang terus menerus.

Kesimpulannya, legitimasi demokratis yang berkualitas dapat diraih dengan memobilisasi pengetahuan seluas-luasnya. Partisipasi publik dapat menyelesaikan apa yang dianggap Hayek sebagai masalah fundamental yang harus diselesaikan ilmu sosial dan pemerintahan demokratis: bagaimana menggunakan pengetahuan yang tersebar di setiap orang.***

Roby Muhamad, adalah kandidat doktor sosiologi di Universitas Columbia, NY, Amerika Serikat.

Minggu, 03 Januari 2010

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Malioboro

Malioboro - Yogyakarta

Sabtu, 02 Januari 2010

Prambanan

Prambanan - Yogyakarta

Parangtritis

Berlibur

Prambanan - Yogyakarta

Berlibur



Parangtritis - Yogyakarta

Berlibur



Parangtritis - Yogyakarta

Panas-panasan di Parangtritis



Siang hari di parangtritis
( Yogyakarta )

Berlibur

Parangtritis - Yogyakarta

Berlibur

Parangtritis - Yogyakarta

Berlibur

Parangtritis - Yogyakarta

Mandi Pagi




Enaknya Mandi Pagi...Segerrrrrr
(Hotel Nusantara-Yogyakarta)

Berlibur



Hotel Nusantara - Yogyakarta

Jumat, 01 Januari 2010

Berlibur

Borobudur - Yogyakarta

Berlibur

Borobudur - Yogyakarta